Mediapewarta.co.id Kota Batu ; Pakar sekaligus Asesor Halal dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), *Prof. Dr. Ir. Elfi Anis Saati, M.PKa*, menegaskan bahwa esensi dari sertifikasi halal melampaui sekadar pemenuhan aspek legal dan syariat. Menurutnya, mutu tertinggi produk halal justru terletak pada aspek intrinsik yang tidak terlihat, yaitu niat dan kejujuran dari produsen.
Penegasan ini disampaikannya saat menjadi pembicara utama dalam acara "Sosialisasi dan Akselerasi Sertifikasi Halal untuk Hotel dan Rumah Makan" yang digelar oleh MUI Kota Batu, Rabu (29/10/2025).
"Bicara mutu halal, ada aspek yang tidak bisa dilihat oleh auditor, yaitu niat dan kejujuran. Itu Allah yang menyaksikan," ujar Prof. Elfi di hadapan para pelaku usaha perhotelan dan kuliner. "Jadi kalau kita memproduksi sesuatu, masak sambil berdoa. Niatkan karena Allah."
Ia menjelaskan, produk halal tidak hanya harus terbebas dari bahan haram, tetapi juga harus thayyib atau baik. Konsep kebaikan ini, menurutnya, mencakup gizi holistik, di mana proses pengolahan yang diiringi dengan niat baik akan menghasilkan produk yang membawa keberkahan dan bahkan menjadi healing food (makanan penyembuh).
*Menjawab Keraguan dan Tantangan Global*
Prof. Elfi juga menjawab keraguan yang sering muncul di kalangan pengusaha mengenai urgensi sertifikasi halal. Ia menanggapi pertanyaan klasik, "Ngapain urus sertifikat halal, kok tidak sertifikat haram saja?"
"Di Indonesia sudah ada undang-undang sejak tahun 90-an yang mewajibkan produsen mencantumkan label jika menggunakan babi. Tapi kira-kira dipatuhi tidak? Hanya kurang dari satu persen. Karena itulah masyarakat muslim galau," jelasnya.
Menurutnya, sertifikasi halal hadir sebagai solusi untuk memberikan ketenangan jiwa bagi konsumen. Kepercayaan ini bahkan meluas ke konsumen non-muslim yang menganggap label halal sebagai jaminan mutu, kebersihan, dan kualitas tertinggi.
Di sisi lain, Prof. Elfi mengingatkan tentang tantangan persaingan global yang semakin ketat. Ia mengungkapkan bahwa belasan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari luar negeri, seperti Thailand, Jerman, hingga Prancis, telah mendaftar dan lolos akreditasi untuk beroperasi di Indonesia.
"Apakah kita mau dibanjiri produk impor mereka? Jangan sampai kita dijajah oleh produk impor. Maka, kita harus berjuang membumikan produk halal dalam negeri," tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong para pelaku usaha untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku lokal, sesuai dengan anjuran Rasulullah untuk memanfaatkan sumber daya terdekat. Langkah ini dinilai tidak hanya lebih efisien secara biaya, tetapi juga dapat memperkuat kemandirian pangan nasional.
*Inovasi dan Keunikan Produk*
Sebagai praktisi yang produk olahan mawarnya pernah meraih penghargaan halal dunia di Malaysia, Prof. Elfi mengajak para pengusaha untuk menciptakan keunikan dan nilai tambah pada produk mereka.
"Jangan sama dengan yang lain (ojo podo nek kancane). Ciptakan branding yang unik," katanya.
Ia memberi contoh, kekayaan alam Kota Batu seperti bunga mawar bisa diolah menjadi antioksidan untuk campuran kopi dan susu. Sementara itu, bubuk bayam merah dapat digunakan sebagai suplemen zat besi, dan kulit buah naga sebagai pewarna alami pengganti karmin yang diimpor.
"Indonesia adalah negara nomor dua terkaya di daratan dan nomor satu di lautan. Kekayaan alam ini harus kita manfaatkan untuk menciptakan produk unggulan daerah," pungkasnya.
